Oh !!
Hidup
terkadang tidak sejalan dengan apa yang kita harapkan. Dan bisa jadi berlawanan
dengan mimpi kita. Tapi inilah hidup ! Tidak selamanya kita bahagia dan tidak
selamanya pula kita sengsara.
Kita tinggal
menjalani saja skenario yang telah disusun oleh Allah untuk hidup kita. Yakin,
bahwa Allah telah mempersiapkan yang terbaik untuk kita. Jodoh, rezeki, bahkan
keadilan dalam hidup.
Inilah kisah
ku, bersama orang yang selalu menjadi permintaan hati. Ku persembahkan untuk
Kakakku, Mas Agus di Solo, adek selalu
kangen sama Mas!
Di suatu
pagi ……….
“M
|
bak, ayo cepet! Hampir ketinggalan
bis. Udah jam 13.00, bisnya berangkat jam 15.00.” Mama memanggilku seraya
menjinjing
tasnya
yang berwarna merah. Hari ini memang aku akan berangkat ke rumah nenekku di
Wonogiri, Solo, Jawa Tengah. Sekedar ingin melepas rindu pada semua saudaraku
disana, dan mengisi liburan tahun ini.
“Iyaa,
Ma. Tunggu sebentar! Lagi cari sepatu
Mbak yang putih!” jawabku berteriak
dari dapur.
Dapur
di rumahku memang dekat dengan ruang tamu dan halaman rumah. Maklum hanya rumah
dari perumahan berukuran 6x12 m. Tapi karena rumah kecil inilah kami semua bisa
selalu meluangkan waktu untuk berkumpul bersama.
Setelah
menemukan sepatu, aku langsung berjalan menuju ke halaman rumah. Terlihat disana
begitu banyak barang yang akan dibawa pergi, sebuah tas besar berisi pakaian, 2
dus cokelat berisi oleh-oleh, dan ada 1, 2, waahh 3 tas kecil yang
masing-masing dibawa anggota keluargaku. Ini akan menjadi liburan yang paling
melelahkan, gumamku.
Kami
langsung berangkat ke agen bus Kramat Djati. Dan langsung pula memasukkan
barang-barang ke dalam bus.
“Mbak, tolong masukin tasnya ke bagasi. Yang itu juga!” perintah Mama sambil
menunjuk tas besar berwarna hitam yang berada tepat di belakangku. Setelah semua
tas selesai dimasukkan, kami pun menaiki bus dan memulai perjalanan. Membutuhkan
waktu + 12 jam untuk sampai di Wonogiri. Memang waktu yang cukup lama,
tapi dengan disuguhi pemandangan yang eksotis tentu kelelahan yang terasa akan
segera memudar.
“Mbak, ayo beresin barang-barangnya. Sebentar lagi mau turun!” sahut Mama
seraya menepuk pundakku. “Waah, emangnya
udah nyampe?” aku malah bertanya. “Iya, atuh!
Ini udah nyampe Terminal Solo.” jawab
Mama dengan nada agak kesal.
Aku
tak menjawab, hanya mengangguk dan langsung membenahi barang-barang. Pulang ke kampung
tanpa Papa memang sering. Mengingat Papa tidak bisa izin dari pekerjaannya, dan
akhirnya aku yang bertanggung jawab membawa barang-barang ini.
“Krisak,
Krisak, Krisak !” terdengar nama pasar tempat ku dulu sewaktu masih kecil
membeli mi thiwul khas pasar Krisak.
Lalu seorang kernet bus bertanya pada Mama, “Arep turun neng ngendhi, Mbak?” tanyanya. “Neng Krisak wae, Mas.” jawab
Mama. Aku sebenarnya mengerti apa yang mereka bicarakan, hanya aku tidak ikut nimbrung saja.
Kami
turun. Mama memanggilku, dan aku tahu apa yang harus ku lakukan. Mengeluarkan
tas dan 2 dus cokelat dari bagasi, dan membawanya. Berat memang. Tapi inilah
tanggung jawab, pikirku.
“Matur nuwon. Mas!” sahut Mama. Kernet
bus tadi menjawab, “Enggeh sami-sami.
Sing ati-ati yok, Mbak!”. Aku
hanya tersenyum melihat tingkah kernet bus itu yang membantuku membawa
barang-barang menyebrangi jalan. “Makasih,
Mas” ucapku dengan volume suara yang tak terlalu besar (takut kedengaran Mama).
Kami
dijemput Paman. Namun sekilas aku tak mengenali siapa yang datang bersama
Pamanku. Dan beberapa saat kemudian dia menyapaku, “Dek Ressy, apa kabar?” Aku
langsung mengenali suara itu. Suara yang selalu aku rindukan. Suara yang sealu
ada di mimpiku setiap malam. Dan suara yang hanya tersirat dari secarik foto
tahun lalu, dan perbincangan mesra di ujung telepon. “Mas Agus!” sahutku. Aku
senang sekali. Akhirnya aku bisa berjumpa dengan Kakakku tercinta. Aku langsung
memeluknya. Terasa berbeda saat berhadapan dengannya. “Ressy kangen banget sama Mas!”, curhatku. Melihat
sikapku yang agak norak dan lebay itu, Pamanku menegur, “Udah, kangen-kangenannya di rumah aja.
Sekarang nyok kita pergi. Biar cepet nyampe!”. Mendengar pinta Pamanku,
kami pun bergegas pergi ke rumah.
Sesampainya
di rumah, rupanya kedatangan kami memang ditunggu-tunggu. Saudaraku standby di depan pintu rumah,
menyambutku. “Mbak Ressy datang! Mbak Ressy datang!” teriak Fadil,
keponakanku yang baru berumur 5 tahun. Ia langsung menghampiriku dan menyapaku,
“Mbak Ressy kok baru dateng. Fadil uda dari kemaren..” .
Belum sempat menjawab pertanyaannya, berhamburlah saudara-saudara ku dari dalam
rumah. Mereka menyapaku. Namun aku hanya bisa tersenyum, aku masih merasa
lelah. Kami pun dibawa masuk ke dalam rumah.
Selesai
melepas penat dan lelah dalam perjalanan, kami semua berkumpul di ruang tengah,
tempat favorite kami untuk berkumpul
bersama. “Mas Rijal ora’ muleh, Mbak?” tanya Tante Tuti, adik Mama.
“Walaah, Bapae Ressy ni kapan mau muleh.
Wong diajak wae ora’ gelem.”jawab Mama. Aku hanya bengong melihat perbincangan kecil itu. Namun mata dan hati ku
tertuju pada sosok berbaju putih di sudut ruangan itu.
“Gus,
ajak adek mu iki jalan-jalan! Kasian no,
diem wae.” suruh Nenekku yang biasa
dipanggil Mbah Putri. Aku tercengang. Namun segera kusembunyikan keherananku,
dengan pergi ke kamar. “Ressy mau
istirahat aja.” sahutku.
Di
dalam kamar berukuran 4x5 m itu ku sandarkan punggung ku pada sebuah kursi
dekat meja belajar. Oh ini kamar Mas Agus, gumamku. Tak kusangka ternyata
Kakakku seorang yang rajin. Kamarnya bersih, rapih, hanya saja di sudut kanan
kamar itu tampak tumpukan buku yang sepertinya buku-buku bekasnya sekolah.
Aku
langsung mengahampiri tumpukan buku itu, sekedar hanya ingin mencari buku
bacaan. Pada saat itu seorang mengahampiriku. “Lagi ngapain, Dek?”
tanyanya. Oh rupanya Kakakku. “Lagi nyari
buku bacaan. Bete nih !!” jawabku. “Maen aja, yuk. Mas punya tempat yang bagus. Dijamin adek suka deh.” sahutnya.
Tanpa berfikir panjang, akupun menerimanya. Yah, hitung-hitung menghilangkan
rasa penat. Dan melepas rindu dengan Kakakku yang biasanya hanya tersampaikan
lewat pesan singkat atau SMS.
Dengan
mengendarai motor, kami pun menembus waktu hanya dalam 20 menit. Mas Agus
membawa ku ke sebuah danau. Indah. Asri. Alami.
“Ini
namanya Bendungan Gajah Mungkur.” ujar Kakakku membuka percakapan. “Oohhh jadi
ini salah satu obyek wisata disini. Indahnyaa..” aku terkagum sambil memandangi
indahnya Danau Gajah Mungkur. Ada
sedikit keinginan untuk berbicara lebih panjang, namun aku malu. Entah mengapa
setelah berjumpa dengan Kakakku, aku jadi salting.
Semua skenario yang telah aku buat menjadi buyar. Mungkinkah karena serangan
jantung begitu melihat sosok permintaan hatiku hadir di depan mata.
Namun
aku memberanikan diri untuk membuka pembicaraan.
“Gimana sekolahnya, Mas?” tanyaku.
“Alhamdulillaah
lancar, Dek. Tahun ini mau ngelanjutin
kuliah di Solo. Do’ain aja, ya, Dek .
Adek sendiri gimana? Perasaan tambah kurus aja
badannya.”
“Iihh,
Mas kok gitu sih.. Ini udah ukuran maksimal, tau!” jawabku dengan nada marah, tapi
senang. Kok???
“Yah,
becanda, Dek. Jangan diambil hati, dong!” sahutnya.
“Abis Mas nih bikin sakit hati deh
pertanyaannnya. Bukannya dimuliakan tamu itu, malah dibikin sebel. Pengen pulang, ahh!!” pintaku sambil cemberut.
“Iya,
iya deh minta maaf. Jangan gitu dong. Masa’ gadis cengeng sih ..” candanya.
“Iya
deh dimaafin. Lain kali becandanya jangan yang nyakitin hati. Jadi pengen marah bawaannya!” ujarku. “Eh tapi, emang Ressy kurusan, gitu ??” sambungku.
“Emmhhh,
kalo iya emang kenapa?” jawab Kakakku dengan ekspresi yang tetawa-tawa.
Amarahku pun semakin menjadi-jadi.
“Iiiihhhhhh,
Mas jahat !!” aku merengek bak anak kecil yang ingin dimanja oleh ibunya, sambil
memukul-mukul punggungnya (niatnya sih bercanda
juga) ..
“Eh
iya, iya, iya, iya ampuuunnnn….!!!!!” teriak Kakakku.
Dan
begitulah seterusnya perbincanganku dengan Mas Agus yang ditemani kicau burung
dan indahnya Danau Gajah Mungkur yang kian melengakapi ‘pelangi’ di hatiku. Hingga
lembayung oranye memaksaku untuk pulang.
Di
malam harinya aku membayangkan tentang kisahku bersama Kakakku tadi siang.
“Andai bisa tiap hari sama Mas Agus” ujarku berbicara sendiri. Dan ternyata
Kakakku sudah ada disampingku. “Ayo lagi
ngapain? Ngomong sendiri sambil senyum-senyum “ ujarnya. Aku pun mengelak, “Engga kok, engga lagi ngapa-ngapain.
Eh iya Mas punya buku bacaan, engga??”
Mas Agus pun menertawaiku yang berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Haduh
haduh, udah deh jangan bohong, jangan
mengalihkan pembicaraan. Ahh adek ini ada-ada aja.” semakin keras tawanya hingga ditegur oleh orang-orang di
ruang tengah.
“Gus,
wes wengi. Ojo keras-keras ketawane.
Diseneni lho karo tetangga .” gertak Tanteku.. Aku pun hanya bisa tertawa.
Namun
tak lama setelah itu tawaku hilang setelah melihat seekor tokek berada di dekat
kakiku. Aku pun berteriak, “Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa” Aku pun lari keluar kamar, menghampiri
orang-orang di ruang tengah.
“Ada apa Mbak Ressy?” tanya Pamanku, Om Eko.
“Itu
ada tokek di kamar. Iihhh ngeriii !!!” jawabku.
Pamanku
terheran-heran. “Yah, engga mungkin
ada tokek di kamar. Wong tempatnya
aja di atas genteng. Bukan kali..” jawabnya sambil tersenyum-senyum.
Kemudian
Mas Agus keluar seraya tertawa-tawa. “Aah, adek
ini sama beginian aja takut.” sahutnya
sambil menyodorkan mainan karet yang tampak seperti tokek.
“Mas
Agus, itu puyaku. Sini ..!” pinta Eja,
adikku.
Tensi
darahku naik. Orang-orang di rumah tersenyum menertawaiku. Aku malu. Segera aku
mengambil sikap.
“Mas
Aguuuuuuuuuuusssssssss !!”. Aku mengejarnya, namun Mas Agus malah lari ke
dapur, ke ruang belakang, hingga aku lelah tak kuat lagi mengejarnya.
Mbah
Putri menegur nya, “Gus, ojo ngene ke
adekmu. Kasian. Sampe ngos-ngosan ngene.
Wes, sing akur ….”. Mas Agus pun meminta maaf padaku. Aku memaafkannya.
Tapi tak semudah itu, gumamku.
Malam
semakin larut. Masing-masing dari kami pun pergi tidur setelah asyik menonton
film “KING-KONG” di Trans TV. Aku tidur bersama Mama, Eja, Tante Tuti, dan dua
keponakanku di kamar Mas Agus. Sedang para lelaki, tidur di ruang tengah yang
hanya beralaskan tikar, dan beberapa buah bantal.
Tepat
pukul 02.05 WIB aku terbangun. Lilir. Sebenarnya ingin pergi ke kamar mandi,
namun ketakutanku terlalu besar (maklum aku paling takut kalau pergi ke kamar
mandi malam hari apalagi jarak dari kamar tidur ke kamar mandi jauh. Jadi inget sama film horror yang settingnya
di kamar mandi).
Namun
niatku itu kemudian tak jadi karena terdengar suara aneh di sekitarku.
Ketakutanku semakin menjadi setelah suara itu semakin terdengar jelas. Seperti
gelak tawa orang di ruang kosong sebelah kamar kakakku. Keraguan semakin
menyelimutiku tatkala aku bingung. Akankah aku ingin melihat apa yang terjadi
ataukah aku akan melanjutkan mimpi yang sempat tertunda.
Memang
benar. Ketakutanku lebih besar. Aku pun memutuskan untuk melanjutkan tidur.
Keesokan
harinya aku tak berani bercerita perihal apa yang kualami semalam. Aku takut.
Takut jikalau nanti suara itu mengetahui bahwa aku yang telah menyebarluaskan
ceritanya. Dan nanti dia mengahantuiku. Dan kelak ia akan membunuhku. Oh tidak,
mengapa aku harus mengalami ini semua. Namun Kakakku membangunkan aku dari
lamunanku.
“Kenapa,
Dek? Bengong aja.” tanyanya. Aku hanya menggeleng. Sambil memasukkan
sesendok nasi goreng yang menjadi menu sarapanku pagi ini, aku masih merasa shock plus takut samadengan penasaran tentang hal itu.
“Mas,
Ressy boleh nanya sesuatu ngga sama Mas?” tanyaku.
Mas
Agus menjawab, “Nanya apaan?”
“Apa
rumah depan (ruangan disebelah kamar Mas Agus) jarang diisi?” tanyaku.
“Oh
rumah depan. Suka diisi kok. Tapi kalau ada acara aja. Kalo lagi kaya’ gini sih ngga suka diisi.” jawabnya.
Aku
hanya mengangguk mendengar hal itu. Aku masih penasaran tentang suara aneh yang
kudengar tadi malam. Dan mungkin rasa penasaranku akan terbuktikan saat besok
hari ketika diadakannya pengajian di rumah ini. Tepatnya di rumah depan.
“Ku
mencintaimu, lebih dari apapun. Meskipun tiada satu orang pun yang tahu. Ku
mencintaimu, sedalam-dalam hatiku. Meskipun engkau hanya Kekasih Gealapku…”
kutipan lagu UNGU Band, Kekasih Gelapku, menjadi temanku di siang ini. Sambil
membantu menyiapkan makanan dan tempat untuk acara pengajian.
Tepat
sehabis Isya, acara pengajian di rumah depan dimulai. Para
tamu berdatangan mencari posisi yang nyaman untuk duduk. Karena memang acara
malam ini rasanya akan berlangsung lama. Aku disuruh untuk mengantarkan makanan
ke tempat pengajian. Baru selangkah memasuki rmag depan, hatiku sudah tak
karuan. Ada
keinginan untuk mencari tahu suara aneh yang kudengar, namun aku juga harus
melaksanakan perintah yang ditujukan padaku.
Ternyata
tidak seperti yang kubayangkan! Pengajian itu berlanjut dengan acara kumpul
keluarga. Dan sekarang telah menunjukkan pukul 02.00. Wah luar biasa. Namun
pada pukul 02.05 seperti yang aku alami malam sebelumnya, terdengar gelak tawa
dari rumah depan. Padahal aku melihat jelas tidak ada perbincangan yang membuat
orang-orang disana tertawa. Aku heran. Aku bergegas menanyakan hal itu pada Mas
Agus.
“Mas,
suara apa itu?” tanyaku pada Mas Agus.
Mas
Agus berbalik bertanya, “Suara apa? Yang mana?”
Aku
menjawab, “Suara orang ketawa itu …” Sambil meminta Mas Agus untuk mendengar
seksama suara gelak tawa itu.
“Oh
itu. Itu suara jam dinding yang dipasang Mbah Kakung dulu buat alarm ronda malem..”
jawab Mas Agus santai.
Aku
bengong. Aku tertawa. Tersenyum. Jadi
ketakutanku selama di rumah ini hanya pada sebuah alarm pada jam dinding
peninggalan Mbah Kakung. Haduh, bodohnya aku ..
Hari-hari
berlalu dengan kisah yang tak mungkin ku ceritakan satu per satu. Intinya
adalah aku bersama Kakakku dan aku sangat menyayangi Kakakku. Berat rasanya ‘tuk
jauh darinya. Dan berat rasanya ‘tuk meninggalkan rumah yang hangat ini.
Malam
sebelum kepulanganku, aku membereskan pakaian dan mengemas barang-barangku.
Sempat pula aku menghabiskan malam terakhirku di rumah hangat itu bersama
Kakakku. Saling bertukar cerita, dan saling melempar lelucon menghina satu sama
lain. Ah semua itu terasa indah bagiku.
“Mas,
ada satu hal yang harus Mas tau. Ini
adalah saat terindah yang pernah Ressy miliki. Bersama orang yang selama ini
Ressy harapin. Andai kita bisa
bersama layaknya adik dan kakak sungguhan.” ujarku.
“Seberapapun
berat rasa hati untuk melepas orang lain, tapi kita harus bisa.” ujarnya.
“Tapi
Ressy ngga nemuin orang kaya’ Mas disana. Disana semua masalah
Ressy pendam sendiri. Tanpa ada orang yang ngerti
kaya’ Mas …”
“Inilah
hidup, terkadang tidak selalu sejalan dengan apa yang kita harapkan. Yakin kalo
kita masih bisa ketemu..”
“Bener yah. Kita masih connect lewat telepon sama SMS. Janji ???” pintaku.
“Bener yah. Kita masih connect lewat telepon sama SMS. Janji ???” pintaku.
“Iya….”
janji Mas Agus.
Kupegang
erat janji itu. Dan kuselipkan di saku celana sebuah foto Mas Agus yang kuambil
diam-diam saat ia terlelap tidur. Malam ini kupandangi foto itu. Berharap do’a
itu kan
terwujud.
Saat
hendak pergi tidur, terdengar LAGI suara aneh yang kudengar beberapa waktu
lalu. Namun kini bukan suara gelak tawa, melainkan suara rintihan tangis
seorang anak kecil. Aku tidak terlalu memperhatikan suara itu. Aku justru
menghiraukannya. Karena pikirku itu adalah alarm jam rumah depan itu lagi.
Keesokan
harinya saat hendak berangkat pulang ke Bandung,
aku, Mama, dan Eja berpamitan pada semua saudara. Dan sudah menjadi tradisi,
setiap ada yang pulang pasti dibekali oleh-oleh dari Wonogiri. Tempe gembus, kacang
tanah, mi thiwul, jenang (dodol), kerupuk ramba, dan bakso
hasil kerja Pamanku. Wwaaahhh banyak sekali.. kuucapkan terimakasih pada Mbah
Putri yang selalu menyelipkan ‘si merah’ di saku celanaku.
Mas
Agus yang telah standby di depan
pintu nampaknya telah menunggu ku. Menungguku? Untuk apa? Untuk memeluknya
kembali ?? Oh tidak bisa!! Dimana-mana tamu itu harus dimuliakan. Tapi
nampaknya dia menyodorkan tangannya. Untuk apa? Aku tahu, mungkin ini yang ia
nantikan
Akupun
memeluk Kakakku, Mas Agus. Semoga ini tidak menjadi pelukan terakhirnya buatku,
sebelum ia dimiliki orang lain. Keinginanku untuk memilikinya menjadi hilang
setelah ku tahu ia adalah kakak kandungku.
Namun
sebelum keberangkatanku itu, terdengar Mbah-Mbah tetangga di rumah ramai
berbincang. Sekedar ingin mengetahui apa yang terjadi, Tante ku bertanya pada
Mbok di seberang rumah,
“Ono opo, Mbah, rame menn..??”
“Iki, mau bengi, ono suara nangis neng ngarep rumah’e Mbok Payemi. Pas di thili’i ono anak sing cilik nganggo
kaos putih neng isor wet melinjo iki
..”
Mendengar
cerita itu aku kaget bukan kepalang. Benarkah itu yang kudengar semalam??
Mudah-mudahan tidak. Namun tak lama setelah itu, ada kabar duka yang
menerangkan bahwa anak dari Mbah tetangga kami meninggal dunia akibat sakitnya
berbulan-bulan. Innalillaahi wainna ilaihi
raa ji’uun, sahut kami semua. Intan, keponakanku menyadarkan aku dari
lamunanku. Aku pun tersadar dan langsung menyebut. Astaghfirullaahal’azhiim …
Karena
waktu telah menunjukkan pukul 13.00 aku sekeluarga pun berangkat ke Terminal.
Dan untuk kesekian kalinya kutatap lagi wajah Kakakku. Dan bergumam kecil,
“Ressy sayang sama Mas, sebagai adik …”
Sambil
menutup kaca pada mobil, kulambaikan tangan pada semua saudaraku. Aku sayang
dan akan merindukan kalian semua…
Kemudian
terdengar suara handphoneku , “Mbak,
ada SMS nih..!” ujar adikku, Eja.
Ternyata
pesan dari Mas Agus.
Tertulis,
“KITA
‘KAN SELALU BERSAMA
UNTUK SELAMANYA”
Aku
terharu membaca pesan singkat itu.
Mas Agus
akan selalu menjadi kakak permintaan
hatiku ..
SELAMANYA
!!!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar