Kamis, 21 Juni 2012

Oh!!


Oh !!


Hidup terkadang tidak sejalan dengan apa yang kita harapkan. Dan bisa jadi berlawanan dengan mimpi kita. Tapi inilah hidup ! Tidak selamanya kita bahagia dan tidak selamanya pula kita sengsara.
Kita tinggal menjalani saja skenario yang telah disusun oleh Allah untuk hidup kita. Yakin, bahwa Allah telah mempersiapkan yang terbaik untuk kita. Jodoh, rezeki, bahkan keadilan dalam hidup.
Inilah kisah ku, bersama orang yang selalu menjadi permintaan hati. Ku persembahkan untuk Kakakku, Mas Agus di Solo, adek selalu kangen sama Mas!

Di suatu pagi ……….
“M
bak, ayo cepet! Hampir ketinggalan bis. Udah jam 13.00, bisnya berangkat jam 15.00.” Mama memanggilku seraya menjinjing
tasnya yang berwarna merah. Hari ini memang aku akan berangkat ke rumah nenekku di Wonogiri, Solo, Jawa Tengah. Sekedar ingin melepas rindu pada semua saudaraku disana, dan mengisi liburan tahun ini.
“Iyaa, Ma. Tunggu sebentar! Lagi cari sepatu Mbak yang putih!” jawabku berteriak dari dapur.
Dapur di rumahku memang dekat dengan ruang tamu dan halaman rumah. Maklum hanya rumah dari perumahan berukuran 6x12 m. Tapi karena rumah kecil inilah kami semua bisa selalu meluangkan waktu untuk berkumpul bersama.
Setelah menemukan sepatu, aku langsung berjalan menuju ke halaman rumah. Terlihat disana begitu banyak barang yang akan dibawa pergi, sebuah tas besar berisi pakaian, 2 dus cokelat berisi oleh-oleh, dan ada 1, 2, waahh 3 tas kecil yang masing-masing dibawa anggota keluargaku. Ini akan menjadi liburan yang paling melelahkan, gumamku.
Kami langsung berangkat ke agen bus Kramat Djati. Dan langsung pula memasukkan barang-barang ke dalam bus.
Mbak, tolong masukin tasnya ke bagasi. Yang itu juga!” perintah Mama sambil menunjuk tas besar berwarna hitam yang berada tepat di belakangku. Setelah semua tas selesai dimasukkan, kami pun menaiki bus dan memulai perjalanan. Membutuhkan waktu + 12 jam untuk sampai di Wonogiri. Memang waktu yang cukup lama, tapi dengan disuguhi pemandangan yang eksotis tentu kelelahan yang terasa akan segera memudar.



Mbak, ayo beresin barang-barangnya. Sebentar lagi mau turun!” sahut Mama seraya menepuk pundakku. “Waah, emangnya udah nyampe?” aku malah bertanya. “Iya, atuh! Ini udah nyampe Terminal Solo.” jawab Mama dengan nada agak kesal.
Aku tak menjawab, hanya mengangguk dan langsung membenahi barang-barang. Pulang ke kampung tanpa Papa memang sering. Mengingat Papa tidak bisa izin dari pekerjaannya, dan akhirnya aku yang bertanggung jawab membawa barang-barang ini.
“Krisak, Krisak, Krisak !” terdengar nama pasar tempat ku dulu sewaktu masih kecil membeli mi thiwul khas pasar Krisak. Lalu seorang kernet bus bertanya pada Mama, “Arep turun neng ngendhi, Mbak?” tanyanya. “Neng Krisak wae, Mas.” jawab Mama. Aku sebenarnya mengerti apa yang mereka bicarakan, hanya aku tidak ikut nimbrung saja.
Kami turun. Mama memanggilku, dan aku tahu apa yang harus ku lakukan. Mengeluarkan tas dan 2 dus cokelat dari bagasi, dan membawanya. Berat memang. Tapi inilah tanggung jawab, pikirku.
Matur nuwon. Mas!” sahut Mama. Kernet bus tadi menjawab, “Enggeh sami-sami. Sing ati-ati yok, Mbak!”. Aku hanya tersenyum melihat tingkah kernet bus itu yang membantuku membawa barang-barang menyebrangi jalan. “Makasih, Mas” ucapku dengan volume suara yang tak terlalu besar (takut kedengaran Mama).
Kami dijemput Paman. Namun sekilas aku tak mengenali siapa yang datang bersama Pamanku. Dan beberapa saat kemudian dia menyapaku, “Dek Ressy, apa kabar?” Aku langsung mengenali suara itu. Suara yang selalu aku rindukan. Suara yang sealu ada di mimpiku setiap malam. Dan suara yang hanya tersirat dari secarik foto tahun lalu, dan perbincangan mesra di ujung telepon. “Mas Agus!” sahutku. Aku senang sekali. Akhirnya aku bisa berjumpa dengan Kakakku tercinta. Aku langsung memeluknya. Terasa berbeda saat berhadapan dengannya. “Ressy kangen banget sama Mas!”, curhatku. Melihat sikapku yang agak norak dan lebay itu, Pamanku menegur, “Udah, kangen-kangenannya di rumah aja. Sekarang nyok kita pergi. Biar cepet nyampe!”. Mendengar pinta Pamanku, kami pun bergegas pergi ke rumah.
Sesampainya di rumah, rupanya kedatangan kami memang ditunggu-tunggu. Saudaraku standby di depan pintu rumah, menyambutku. “Mbak Ressy datang! Mbak Ressy datang!” teriak Fadil, keponakanku yang baru berumur 5 tahun. Ia langsung menghampiriku dan menyapaku, “Mbak Ressy kok baru dateng. Fadil uda dari kemaren..” . Belum sempat menjawab pertanyaannya, berhamburlah saudara-saudara ku dari dalam rumah. Mereka menyapaku. Namun aku hanya bisa tersenyum, aku masih merasa lelah. Kami pun dibawa masuk ke dalam rumah.

Selesai melepas penat dan lelah dalam perjalanan, kami semua berkumpul di ruang tengah, tempat favorite kami untuk berkumpul bersama. “Mas Rijal ora’ muleh, Mbak?” tanya Tante Tuti, adik Mama. “Walaah, Bapae Ressy ni kapan mau muleh. Wong diajak wae ora’ gelem.”jawab Mama. Aku hanya bengong melihat perbincangan kecil itu. Namun mata dan hati ku tertuju pada sosok berbaju putih di sudut ruangan itu.
“Gus, ajak adek mu iki jalan-jalan! Kasian no, diem wae.” suruh Nenekku yang biasa dipanggil Mbah Putri. Aku tercengang. Namun segera kusembunyikan keherananku, dengan pergi ke kamar. “Ressy mau istirahat aja.” sahutku.
Di dalam kamar berukuran 4x5 m itu ku sandarkan punggung ku pada sebuah kursi dekat meja belajar. Oh ini kamar Mas Agus, gumamku. Tak kusangka ternyata Kakakku seorang yang rajin. Kamarnya bersih, rapih, hanya saja di sudut kanan kamar itu tampak tumpukan buku yang sepertinya buku-buku bekasnya sekolah.
Aku langsung mengahampiri tumpukan buku itu, sekedar hanya ingin mencari buku bacaan. Pada saat itu seorang mengahampiriku. “Lagi ngapain, Dek?” tanyanya. Oh rupanya Kakakku. “Lagi nyari buku bacaan. Bete nih !!” jawabku. “Maen aja, yuk. Mas punya tempat yang bagus. Dijamin adek suka deh.” sahutnya. Tanpa berfikir panjang, akupun menerimanya. Yah, hitung-hitung menghilangkan rasa penat. Dan melepas rindu dengan Kakakku yang biasanya hanya tersampaikan lewat pesan singkat atau SMS.
Dengan mengendarai motor, kami pun menembus waktu hanya dalam 20 menit. Mas Agus membawa ku ke sebuah danau. Indah. Asri. Alami.
“Ini namanya Bendungan Gajah Mungkur.” ujar Kakakku membuka percakapan. “Oohhh jadi ini salah satu obyek wisata disini. Indahnyaa..” aku terkagum sambil memandangi indahnya Danau Gajah Mungkur. Ada sedikit keinginan untuk berbicara lebih panjang, namun aku malu. Entah mengapa setelah berjumpa dengan Kakakku, aku jadi salting. Semua skenario yang telah aku buat menjadi buyar. Mungkinkah karena serangan jantung begitu melihat sosok permintaan hatiku hadir di depan mata.
Namun aku memberanikan diri untuk membuka pembicaraan.
Gimana sekolahnya, Mas?” tanyaku.
“Alhamdulillaah lancar, Dek. Tahun ini mau ngelanjutin kuliah di Solo. Do’ain aja, ya, Dek . Adek sendiri gimana? Perasaan tambah kurus aja badannya.”
“Iihh, Mas kok gitu sih.. Ini udah ukuran maksimal, tau!” jawabku dengan nada marah, tapi senang. Kok???
“Yah, becanda, Dek. Jangan diambil hati, dong!” sahutnya.
Abis Mas nih bikin sakit hati deh pertanyaannnya. Bukannya dimuliakan tamu itu, malah dibikin sebel. Pengen pulang, ahh!!” pintaku sambil cemberut.
“Iya, iya deh minta maaf. Jangan gitu dong. Masa’ gadis cengeng sih ..” candanya.
“Iya deh dimaafin. Lain kali becandanya jangan yang nyakitin hati. Jadi pengen marah bawaannya!” ujarku. “Eh tapi, emang Ressy kurusan, gitu ??” sambungku.
“Emmhhh, kalo iya emang kenapa?” jawab Kakakku dengan ekspresi yang tetawa-tawa. Amarahku pun semakin menjadi-jadi.
“Iiiihhhhhh, Mas jahat !!” aku merengek bak anak kecil yang ingin dimanja oleh ibunya, sambil memukul-mukul punggungnya (niatnya sih bercanda juga) ..
“Eh iya, iya, iya, iya ampuuunnnn….!!!!!” teriak Kakakku.
Dan begitulah seterusnya perbincanganku dengan Mas Agus yang ditemani kicau burung dan indahnya Danau Gajah Mungkur yang kian melengakapi ‘pelangi’ di hatiku. Hingga lembayung oranye memaksaku untuk pulang.


Di malam harinya aku membayangkan tentang kisahku bersama Kakakku tadi siang. “Andai bisa tiap hari sama Mas Agus” ujarku berbicara sendiri. Dan ternyata Kakakku sudah ada disampingku. “Ayo lagi ngapain? Ngomong sendiri sambil senyum-senyum “ ujarnya. Aku pun mengelak, “Engga kok, engga lagi ngapa-ngapain. Eh iya Mas punya buku bacaan, engga??” Mas Agus pun menertawaiku yang berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Haduh haduh, udah deh jangan bohong, jangan mengalihkan pembicaraan. Ahh adek ini ada-ada aja.” semakin keras tawanya hingga ditegur oleh orang-orang di ruang tengah.
“Gus, wes wengi. Ojo keras-keras ketawane. Diseneni lho karo tetangga .” gertak Tanteku.. Aku pun hanya bisa tertawa.
Namun tak lama setelah itu tawaku hilang setelah melihat seekor tokek berada di dekat kakiku. Aku pun berteriak, “Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa”  Aku pun lari keluar kamar, menghampiri orang-orang di ruang tengah.
“Ada apa Mbak Ressy?” tanya Pamanku, Om Eko.
“Itu ada tokek di kamar. Iihhh ngeriii !!!” jawabku.
Pamanku terheran-heran. “Yah, engga mungkin ada tokek di kamar. Wong tempatnya aja di atas genteng. Bukan kali..” jawabnya sambil tersenyum-senyum.
Kemudian Mas Agus keluar seraya tertawa-tawa. “Aah, adek ini sama beginian aja takut.” sahutnya sambil menyodorkan mainan karet yang tampak seperti tokek.
“Mas Agus, itu puyaku. Sini ..!” pinta Eja, adikku.
Tensi darahku naik. Orang-orang di rumah tersenyum menertawaiku. Aku malu. Segera aku mengambil sikap.
“Mas Aguuuuuuuuuuusssssssss !!”. Aku mengejarnya, namun Mas Agus malah lari ke dapur, ke ruang belakang, hingga aku lelah tak kuat lagi mengejarnya.
Mbah Putri menegur nya, “Gus, ojo ngene ke adekmu. Kasian. Sampe ngos-ngosan ngene. Wes, sing akur ….”. Mas Agus pun meminta maaf padaku. Aku memaafkannya. Tapi tak semudah itu, gumamku.
Malam semakin larut. Masing-masing dari kami pun pergi tidur setelah asyik menonton film “KING-KONG” di Trans TV. Aku tidur bersama Mama, Eja, Tante Tuti, dan dua keponakanku di kamar Mas Agus. Sedang para lelaki, tidur di ruang tengah yang hanya beralaskan tikar, dan beberapa buah bantal.
Tepat pukul 02.05 WIB aku terbangun. Lilir. Sebenarnya ingin pergi ke kamar mandi, namun ketakutanku terlalu besar (maklum aku paling takut kalau pergi ke kamar mandi malam hari apalagi jarak dari kamar tidur ke kamar mandi jauh. Jadi inget sama film horror yang settingnya di kamar mandi).
Namun niatku itu kemudian tak jadi karena terdengar suara aneh di sekitarku. Ketakutanku semakin menjadi setelah suara itu semakin terdengar jelas. Seperti gelak tawa orang di ruang kosong sebelah kamar kakakku. Keraguan semakin menyelimutiku tatkala aku bingung. Akankah aku ingin melihat apa yang terjadi ataukah aku akan melanjutkan mimpi yang sempat tertunda.
Memang benar. Ketakutanku lebih besar. Aku pun memutuskan untuk melanjutkan tidur.


Keesokan harinya aku tak berani bercerita perihal apa yang kualami semalam. Aku takut. Takut jikalau nanti suara itu mengetahui bahwa aku yang telah menyebarluaskan ceritanya. Dan nanti dia mengahantuiku. Dan kelak ia akan membunuhku. Oh tidak, mengapa aku harus mengalami ini semua. Namun Kakakku membangunkan aku dari lamunanku.
“Kenapa, Dek? Bengong aja.” tanyanya. Aku hanya menggeleng. Sambil memasukkan sesendok nasi goreng yang menjadi menu sarapanku pagi ini, aku masih merasa shock plus takut samadengan  penasaran tentang hal itu.
“Mas, Ressy boleh nanya sesuatu ngga sama Mas?” tanyaku.
Mas Agus menjawab, “Nanya apaan?”
“Apa rumah depan (ruangan disebelah kamar Mas Agus) jarang diisi?” tanyaku.
“Oh rumah depan. Suka diisi kok. Tapi kalau ada acara aja. Kalo lagi kaya’ gini sih ngga suka diisi.” jawabnya.
Aku hanya mengangguk mendengar hal itu. Aku masih penasaran tentang suara aneh yang kudengar tadi malam. Dan mungkin rasa penasaranku akan terbuktikan saat besok hari ketika diadakannya pengajian di rumah ini. Tepatnya di rumah depan.



“Ku mencintaimu, lebih dari apapun. Meskipun tiada satu orang pun yang tahu. Ku mencintaimu, sedalam-dalam hatiku. Meskipun engkau hanya Kekasih Gealapku…” kutipan lagu UNGU Band, Kekasih Gelapku, menjadi temanku di siang ini. Sambil membantu menyiapkan makanan dan tempat untuk acara pengajian.
Tepat sehabis Isya, acara pengajian di rumah depan dimulai. Para tamu berdatangan mencari posisi yang nyaman untuk duduk. Karena memang acara malam ini rasanya akan berlangsung lama. Aku disuruh untuk mengantarkan makanan ke tempat pengajian. Baru selangkah memasuki rmag depan, hatiku sudah tak karuan. Ada keinginan untuk mencari tahu suara aneh yang kudengar, namun aku juga harus melaksanakan perintah yang ditujukan padaku.
Ternyata tidak seperti yang kubayangkan! Pengajian itu berlanjut dengan acara kumpul keluarga. Dan sekarang telah menunjukkan pukul 02.00. Wah luar biasa. Namun pada pukul 02.05 seperti yang aku alami malam sebelumnya, terdengar gelak tawa dari rumah depan. Padahal aku melihat jelas tidak ada perbincangan yang membuat orang-orang disana tertawa. Aku heran. Aku bergegas menanyakan hal itu pada Mas Agus.
“Mas, suara apa itu?” tanyaku pada Mas Agus.
Mas Agus berbalik bertanya, “Suara apa? Yang mana?”
Aku menjawab, “Suara orang ketawa itu …” Sambil meminta Mas Agus untuk mendengar seksama suara gelak tawa itu.
“Oh itu. Itu suara jam dinding yang dipasang Mbah Kakung dulu buat alarm ronda malem..” jawab Mas Agus santai.
Aku bengong. Aku tertawa. Tersenyum. Jadi ketakutanku selama di rumah ini hanya pada sebuah alarm pada jam dinding peninggalan Mbah Kakung. Haduh, bodohnya aku ..



Hari-hari berlalu dengan kisah yang tak mungkin ku ceritakan satu per satu. Intinya adalah aku bersama Kakakku dan aku sangat menyayangi Kakakku. Berat rasanya ‘tuk jauh darinya. Dan berat rasanya ‘tuk meninggalkan rumah yang hangat ini.
Malam sebelum kepulanganku, aku membereskan pakaian dan mengemas barang-barangku. Sempat pula aku menghabiskan malam terakhirku di rumah hangat itu bersama Kakakku. Saling bertukar cerita, dan saling melempar lelucon menghina satu sama lain. Ah semua itu terasa indah bagiku.
“Mas, ada satu hal yang harus Mas tau. Ini adalah saat terindah yang pernah Ressy miliki. Bersama orang yang selama ini Ressy harapin. Andai kita bisa bersama layaknya adik dan kakak sungguhan.” ujarku.
“Seberapapun berat rasa hati untuk melepas orang lain, tapi kita harus bisa.” ujarnya.
“Tapi Ressy ngga nemuin orang kaya’ Mas disana. Disana semua masalah Ressy pendam sendiri. Tanpa ada orang yang ngerti kaya’  Mas …”
“Inilah hidup, terkadang tidak selalu sejalan dengan apa yang kita harapkan. Yakin kalo kita masih bisa ketemu..”
            “Bener yah. Kita masih connect lewat telepon sama SMS. Janji ???” pintaku.
“Iya….” janji Mas Agus.
Kupegang erat janji itu. Dan kuselipkan di saku celana sebuah foto Mas Agus yang kuambil diam-diam saat ia terlelap tidur. Malam ini kupandangi foto itu. Berharap do’a itu kan terwujud.
Saat hendak pergi tidur, terdengar LAGI suara aneh yang kudengar beberapa waktu lalu. Namun kini bukan suara gelak tawa, melainkan suara rintihan tangis seorang anak kecil. Aku tidak terlalu memperhatikan suara itu. Aku justru menghiraukannya. Karena pikirku itu adalah alarm jam rumah depan itu lagi.


Keesokan harinya saat hendak berangkat pulang ke Bandung, aku, Mama, dan Eja berpamitan pada semua saudara. Dan sudah menjadi tradisi, setiap ada yang pulang pasti dibekali oleh-oleh dari Wonogiri. Tempe gembus, kacang tanah, mi thiwul, jenang (dodol), kerupuk ramba, dan bakso hasil kerja Pamanku. Wwaaahhh banyak sekali.. kuucapkan terimakasih pada Mbah Putri yang selalu menyelipkan ‘si merah’ di saku celanaku.
Mas Agus yang telah standby di depan pintu nampaknya telah menunggu ku. Menungguku? Untuk apa? Untuk memeluknya kembali ?? Oh tidak bisa!! Dimana-mana tamu itu harus dimuliakan. Tapi nampaknya dia menyodorkan tangannya. Untuk apa? Aku tahu, mungkin ini yang ia nantikan
Akupun memeluk Kakakku, Mas Agus. Semoga ini tidak menjadi pelukan terakhirnya buatku, sebelum ia dimiliki orang lain. Keinginanku untuk memilikinya menjadi hilang setelah ku tahu ia adalah kakak kandungku.
Namun sebelum keberangkatanku itu, terdengar Mbah-Mbah tetangga di rumah ramai berbincang. Sekedar ingin mengetahui apa yang terjadi, Tante ku bertanya pada Mbok di seberang rumah,
Ono opo, Mbah, rame menn..??”
Iki, mau bengi, ono suara nangis neng ngarep rumah’e Mbok Payemi. Pas di thili’i ono anak sing cilik nganggo kaos putih neng isor wet melinjo iki ..”
Mendengar cerita itu aku kaget bukan kepalang. Benarkah itu yang kudengar semalam?? Mudah-mudahan tidak. Namun tak lama setelah itu, ada kabar duka yang menerangkan bahwa anak dari Mbah tetangga kami meninggal dunia akibat sakitnya berbulan-bulan. Innalillaahi wainna ilaihi raa ji’uun, sahut kami semua. Intan, keponakanku menyadarkan aku dari lamunanku. Aku pun tersadar dan langsung menyebut. Astaghfirullaahal’azhiim
Karena waktu telah menunjukkan pukul 13.00 aku sekeluarga pun berangkat ke Terminal. Dan untuk kesekian kalinya kutatap lagi wajah Kakakku. Dan bergumam kecil, “Ressy sayang sama Mas,  sebagai adik …”
Sambil menutup kaca pada mobil, kulambaikan tangan pada semua saudaraku. Aku sayang dan akan merindukan kalian semua…
Kemudian terdengar suara handphoneku , “Mbak, ada SMS nih..!” ujar adikku, Eja.
Ternyata pesan dari Mas Agus.
Tertulis,
“KITA ‘KAN SELALU BERSAMA UNTUK SELAMANYA”
Aku terharu membaca pesan singkat itu.
Mas Agus akan selalu menjadi  kakak permintaan hatiku ..
SELAMANYA !!!!!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar