Kamis, 21 Juni 2012

Hikayat Si Miskin


Hikayat Si Miskin

Ini hikayat cerita seorang dahulu kala. Sekali peristiwa Allah subhanahu wata’ala menunjukkan kepada hamba-Nya, maka adalah seorang miskin laki bini berjalan mencari rezekinya berkeliling negeri Antah Berantah. Adapun nama raja di dalam negeri itu adalah Maharaja Indera Dewa. Terlalu amat besar kerajaannya baginda itu, beberapa raja-raja di tanah dewa itu takluk kepada baginda dan mengantar upeti kepada baginda tiap tahun.
Hatta maka pada suatu hari baginda sedang ramai dihadap oleh raja-raja, menteri, hulubalang, dan rakyat sekalian ada di penghadapan, maka si Miskin itu pun sampailah ke penghadapan itu. Setelah dilihat oleh orang banyak si Miskin laki bini dengan rupa kainnya seperti dimamah anjing rupanya, maka orang banyak itu pun ramailah tertawa, seraya mengambil kayu dan batu, maka dilemparkannyalah si Miskin itu, kena tubunhnya habis bengkak-bengkak dan berdarah. Maka seluruh tubuhnya pun berlumur dengan darah, maka orang pun gemparlah.
Maka titah baginda, “Apakah yang gempar di luar sana?”
Sembah segala raja-raja itu, “Ya, Tuanku syah alam, orang melempar si Miskin, Tuanku.” Maka titah baginda, “Suruh usir jauh-jauh.”
Maka diusir oranglah akan si Miskin itu, hingga sampailah ke tepi hutan, maka banyak orang itu pun kembalilah. Maka hari pun malamlah, maka baginda pun berangkat masuk ke dalam istana itu, maka segala raja-raja dan menteri, hulubalang, dan rakyat sekalian itu pun masing-masing pulang ke rumahnya.
Adapun akan si Miskin itu, apabila malam ia pun tidurlah di dalam hutan itu. Setelah siang hari, maka ia pun pergi berjalan masuk ke dalam negeri mencari rezekinya. Maka apabila sampailah dekat kepada kampung orang, apabila orang yang empunya kampung itu melihat akan dia, maka diusirnyalah dengan kayu. Maka si Miskin datang, maka masing-masing pun datang. Ada yang melontari dengan batu, ada yang memalu dengan kayu. Si Miskin itu pun larilah tunggang langgang, tubuhnya habis berlumur dengan darah. Maka menangislah ia berseru-seru sepanjang jalan itu dengan tersangat lapar dahaganya, seperti kan mati rasanya. Maka ia pun bertemulah dengan tempat orang membuangkan sampah-sampah, maka berhentilah ia disana. Maka dicaharinyalah di dalam sampah yang berimbun itu, barang yang boleh dimakannya. Maka didapatinyalah ketupat yang sudah basi, dibuangkan oleh orang pasar itu, dengan buku tebu, lalu dimakannya ketupat yang sebiji itu laki bini. Setelah sudah dimakannya ketupat itu, maka baharulah dimakannya buku tebu itu. Maka adalah segar rasa tubuhnya, karena beberapa lamanya tidak merasakan nasi, hendak mati rasanya. Ia hendak meminta ke rumah orang, takut, jangankan diberi orang barang sesuatu, hampir kepada rumah orang itu pun tiada boleh. Demikianlah hal si Miskin itu sehari-hari.
Hatta maka hari pun petanglah, maka si Miskin pun berjalan masuk ke dalam hutan, tempatnya sediakala itu, disanalah ia tidur. Maka disapunyalah darah di tubuhnya iu, tiada boleh keluar, karena darah itu sudah kering. Maka si Miskin itu pun tidurlah di dalam hutan itu.
Setelah pagi-pagi hari, maka berkatalah si Miskin itu pada istrinya, “Ya, Tuanku, matilah rasaku ini, sangatlah sakit rasanya tubuhku ini, maka tiadalah berdaya lagi, hancurlah rasanya anggotaku ini.” Maka ia pun tersedu-sedu menangis.
Maka terlalu belas rasa hati istrinya melihat laku suaminya demikian itu. Maka ia pun menangis pula, seraya mengambil daun kayu, lalu dimamahnya, maka disapukannyalah seluruh tubuh suaminya, sambil berkata, “Diamlah tuan, jangan menangis, sudahlah dengan untung kita, maka jadi selaku ini.”
Adapun si Miskin itu asalnya daripada raja keinderaan, maka kena sumpah Batara Indera maka jadilah ia demikian itu.
Maka adalah suaminya itu pun segarlah sedikit tubuhnya. Setelah itu maka suaminya pun masuk ke dalam hutan mencahari umbut yang muda, yang patut dimakan. Maka dibawanyalah kepada istrinya, maka dimakannyalah laki bini.
Hatta berapa lamanya, maka istri si Miskin itu pun hamillah tiga bulan lamanya. Maka istrinya menangis hendak makan mempelam, yang ada di dalam taman raja itu. maka suaminya itu pun terkenangkan untungnya, tatkala ia di keinderaan menjadi raja, tiada ia mau beranak, maka sekarang ia telah melarat, maka baharulah hendak beranak, seraya berkata kepada istrinya, “Aduhai, Adinda, tuan hendak membunuh kakandalah rupanya ini, tiadakah tuan tahu akan hal kita, yang sudah lalu? Jangankan hendak meminta batrang sesuatu, hampir kepada kampung orang tiada boleh.”
Setelah didengar istrinya kata suaminya demikian itu, maka makinlah sangat ia menangis. Maka kata suaminya, “Diamlah, tuan, jangan menangis, biarlah kakanda pergi mencahari buah mempelam itu. Jikalau dapat oleh kakanda akan buah mempelam itu, kakanda berikan kepada tuan.”
Maka istrinya pun diamlah, maka suaminya itu pun pergi ke pasar mencahari buah mempelam itu. Setelah sampailah ia di kedai orang berjual buah mempelam, maka si Miskin itu pun berhentilah di sana. Hendak pun dimintainya, ia takut akan dipalu orang.
Maka kata orang, yang berjual buah mempelam itu, “ Hai si Miskin, apa kehendakmu?”
Maka sahut si Miskin itu, “Jikalau ada belas dan kasihan serta rahim tuan akan datang orang miskin hamba ini berikan sebiji saja, Tuan.”
Maka terlalu belas hati sekalian orang pasar itu, yang mendengar kata si Miskin itu, seperti hamcurlah kata hatinya. Maka ada yang memberi buah mempelam, ada yang memberikan zuadah, ada yang memberikan nasi, ada yang memberikan kain baju, ada yang memberikan buah-buahan oleh sebab anak yang diidamkan oleh istrinya itu.

Sumber: Teori dan Apresiai Prosa Fiksi, hal 29-30

Tidak ada komentar:

Posting Komentar